Definisi dan Hukum Ta'widh (Ganti Rugi)

SYARIAHPEDIA.COM, Ta’widh (Ganti Rugi) adalah sejumlah uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang dibebankan kepada seseorang atau badan karena melakukan wanprestasi. 

Contoh : Pengenaan ganti rugi (ta'widh) oleh bank syariah kepada nasabah yang menunda-nunda pembayaran kewajibannya. Atau ganti rugi karena nasabah membatalkan akad.



Pendapat Para Ulama tentang Ta'widh 


Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz IV, hlm 342, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (dharar) dan karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan: 

“Jika orang berutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan.”
Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998:
  
  “Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan” (h. 87). 

    “Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa:

  1. menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding...
  2. memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan benda yang sama (sejenis) atau dengan uang” (h. 93). Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaat-kannya” (h. 96) 

Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996:
“Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut.”
Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh `Isham Anas al-Zaftawi, Hukm al-Gharamah alMaliyah fi al-Fiqh al-Islami, al-Qahirah: al-Ma’had al- ‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1997:
“Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari’ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak.”
Ta'widh Menurut Standar Syariah AAOIFI

Menurut Standar Syariah AAOIFI No.8 tentang Murabahah lil Amr BisySyira, 2/4, h.96:

“LKS berhak mendapatkan ganti rugi atas kerugian riil (ad-dharar al-fi’liy) yang disebabkan wanprestasi nasabah dalam hal janji yang mengikat dengan cara nasabah harus menanggung perbedaan antara harga barang yang dijual ke pihak lain dan harga asli yang dibayarkan oleh LKS kepada penjual pertama.”

Standar Syariah AAOIFI No.8 tentang Murabahah lil Amr BisySyira, h.106:

“Alasan LKS berhak mendapatkan ganti rugi dalam hal nasabah melakukan wanprestasi terhadap janji (yang mengikat) untuk membeli barang adalah adanya kerugian LKS yang disebabkan oleh nasabah tersebut. Hal demikian, karena nasabah telah mendorong LKS untuk melakukan suatu kegiatan yang sebenarnya tidak akan dilakukan andai tidak janji dari nasabah. Dalam konteks yang sama, Lembaga Fikih Islam International di Jeddah telah mengeluarkan keputusan ini.”


Ketentuan Ta'widh Menurut Fatwa DSN-MUI Nomor 43 Tahun 2004

Ketentuan Umum

  1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
  2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
  3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya dibayarkan.
  4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
  5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.
  6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.

Ketentuan Khusus
  1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
  2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
  3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
  4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.