Siapkah Bank Syariah Menghadapi Tenggat Spin-Off Tahun 2023 ?

SYARIAHPEDIA.COM - Tenggat spin-off perbankan syariah semakin dekat, semua bank syariah yang masih berstatus Unit Usaha Syariah (UUS) Wajib mempersiapkan diri agar dapat memenuhi tenggat tersebut, termasuk BPD Syariah yang secara umum masih memiliki aset yang relatif kecil. Lantas bagaimana strategi dan persiapan UUS-UUS tersebut?, dan bagaimana juga dengan wacana penyatuan (unifikasi) BPD-BPD syariah di Kalimantan?

Untuk mengulas permasalahan kesiapan Spin-Off UUS pada tahun 2023, pada tanggal 24 April 2022, Young Islamic Bankers (YIB) berkolaborasi dengan Korps Alumni FoSSEI (KA FoSSEI) dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) menyelenggarakan webinar dengan topik: OUTLOOK & KONSOLIDASI PERBANKAN SYARIAH MENUJU TENGGAT SPIN-OFF 2023

Kewajiban unit usaha syariah (UUS) perbankan untuk memisahkan diri dari induknya atau spin-off mengikuti aturan yang dibuat regulator masih menghantui pelaku industri perbankan. Pasalnya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menetapkan bahwa UUS yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional (BUK) harus melakukan spin-off selambat-lambatnya 15 tahun setelah penerbitan undang-undang. Dengan kata lain, UUS harus terpisah dari induk BUK sebelum tahun 2023 berakhir. Kewajiban ini juga berlaku untuk UUS yang sudah memiliki nilai aset 50 persen dari total nilai bank induknya. Jika kewajiban ini tidak diterapkan, maka pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini, dapat mencabut izin usaha Sertifikat Badan Usaha (PBI nomor 11/10 / PBI / 2009 pasal 43 (1)).

Foto: Gedung BPD Kal-Sel. Sumber: Annual Report BPD Kal-Sel Tahun 2021

Pandemi Covid-19 kian mempersulit persiapan UUS untuk spin-off. Tekanan ekonomi dari Covid-19 semakin membuat pelaku industri perbankan kesulitan untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Direktur Jasa Keuangan Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Taufik Hidayat mengatakan KNEKS menilai dari 20 UUS yang ada saat ini, terdapat 9 hingga 12 UUS masih belum siap menghadapi deadline spin-off tahun 2023 atau sekitar 50 persen dari jumlah UUS di Indonesia. Jumlah tersebut didominasi oleh UUS Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Setidaknya ada tiga skenario kewajiban spin off UUS BPD yang tertuang dalam Undang-Undang, yakni konversi BPD menjadi BPD Syariah, unifikasi UUS BPD, atau UUS BPD mengembalikan izin usaha dan menjual asetnya ke bank syariah lain. Sejak diundangkan pada tahun 2008, terdapat 3 UUS BPD yang telah berubah menjadi BUS, yaitu spin off UUS BJB Syariah (2010), konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah (2016) dan terakhir konversi Bank NTB menjadi Bank NTB Syariah (2018).

“Rencana merger akan melibatkan 13 UUS yang berasal dari BPD Sumut, Jambi, Riau, Sumsel Babel, DKI, Jateng, Yogyakarta, Jatim, Kalsel, Kalbar, Kaltim, Sulselbar, dan Nagari Sumbar, serta satu Bank Umum Syariah yakni Bank BJB Syariah”. Ujar Alfi Wijaya sebagai komite perbankan syariah pengurus pusat MES 

Per Desember 2020, terdapat 13 UUS BPD, dua di antaranya sedang menyiapkan konversi menjadi BUS, yaitu Bank Riau Kepri dan Bank Nagari. Bahkan, Bank Nagari sudah mengantongi hasil RUPS pada 2019 yang menyetujui konversi dengan total suara setuju sebesar 56 persen, sementara 44 persen memilih spin off. Meskipun sudah dua tahun berjalan, Bank Nagari masih dalam tahap awal untuk konversi. Memang banyak pihak yang mendukung proses spin off dan konversi BPD syariah, namun minimnya kajian riset yang komprehensif serta lemahnya komitmen selama proses konversi membuat banyak BPD terjebak dalam dilema pilihan spin-off atau konversi.

Permasalahan mendasar terkait konversi dan spin off adalah belum adanya pedoman khusus sebagai arahan perencanaan dan landasan teknis dalam masa transisi spin off. Regulasi yang ada hanya memberi pedoman bagaimana operasional sebagai UUS dan operasional sebagai BUS. Tidak ada arahan operasional selama masa transisi konversi dan spin off. Padahal, banyak hal yang harus ditempuh, mengingat proses spin off banyak menyentuh aspek hukum dan kepatuhan.

“Itu sebabnya dalam masa transisi harus didukung dengan kebijakan dan insentif untuk meringankan proses konversi dan spin off BPD. Namun, insentif spin off, seperti keringanan setoran modal minimum BUS Rp 500 miliar dan pengunduran pemenuhan kepemilikan maksimal 40 persen hingga tahun 2028, dianggap belum cukup mengimbangi konsekuensi yang akan dihadapi. Keberadaan insentif penting untuk menunjang dan meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah”. Ujar Hanawijaya Direktur Bank BPD Kalsel.

Spin off membutuhkan permodalan dari induknya untuk menyediakan modal anak usahanya. Hal tersebut tidak mudah bagi beberapa bank termasuk Bank Pembangunan Daerah (BPD). POJK No.12/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum mewajibkan modal inti minimum Bank Umum sebesar Rp 3 triliun paling lambat akhir 2022. Namun, bagi BPD diberikan tenggat waktu hingga akhir 2024.

Dalam POJK No 59/2020 tentang syarat dan tata cara pemisahan UUS mensyaratkan modal disetor pendirian BUS hasil pemisahan paling kurang Rp 1 triliun dalam bentuk tunai. Artinya, UUS BPD yang akan melakukan pemisahan murni, perlu menyiapkan modal inti minimum Rp 1 triliun. Tentu ini bukan nominal yang kecil untuk pemerintah daerah sebagai pemegang saham BPD, mengingat pemda juga membutuhkan banyak dana untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi daerah.

“konsolidasi di antara bank-bank yang baru dipisah dari induknya dapat membantu mereka mencapai skala ekonomi, memungkinkan mereka untuk menjadi lebih kompetitif”.Ujar Kindy Miftah selaku Chief Strategy Young Islamic Bankers. 

Pada Saat ini, tren merger dan konsolidasi perbankan nasional dan internasional bakal melahirkan bank-bank yang besar dan kuat. Tetapi di sisi lain, Unit Usaha Syariah malah didorong untuk spin off atau konversi dalam waktu yang sangat sempit. Dikhawatirkan konversi dan spin off yang prematur, justru menciptakan bank-bank syariah yang kecil dan lemah, sehingga akan sulit bersaing. Hal ini mencerminkan kontradiksi dan aturan yang belum terintegrasi.

KNEKS berharap keputusan spin-off sebaiknya diserahkan kepada corporate action masing-masing bank, bukan atas amanat undang-undang. Hal ini karena setiap UUS membutuhkan treatment dan timeline yang berbeda dalam pengembangan bisnisnya, sehingga sebaiknya tidak diatur seragam terkait waktu spin-off. UUS diharapkan tetap bisa memanfaatkan skema full-leveraged model dan struktur permodalan dari bank induknya, sehingga secara gradual dapat meningkatkan skala bisnis sebelum spin-off menjadi BUS.

Pada akhirnya, semua stakeholder industri harus menyadari bahwa filosofi spin off bukanlah sebatas membuat industri perbankan syariah "lebih syariah" atau hanya sekadar memperbesar pangsa pasar perbankan syariah nasional, tetapi sebagai langkah penguatan perbankan syariah agar tumbuh kuat di tengah kompetisi bisnis perbankan yang semakin ketat.


*Ditulis oleh Tim Edukasi KSEI Hamasa STEI Al-Ishlah Cirebon