Oleh
: Anne Haerany, ME.Sy
(Ketua Prodi Manajemen Perbankan Syariah STEI Al-Ishlah Cirebon)
PENDAHULUAN
Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi sudah sangat
pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing menggaet
hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yang tidak hanya berorientasi pada
keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan senantiasa menganalisa
fenomena yang ada agar mengetahui bagaimana pandangan syariat
terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak mudah terjerumus ke dalam
larangan-Nya. Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem
kredit, yaitu cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai
(pembayaran ditangguhkan atau diangsur). Di dalam ilmu fikih, akad jual beli
ini lebih familiar dengan istilah jual beli taqsith (التَقْسيـْط). Secara bahasa, taqsith itu
sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian.Meskipun sistem
ini adalah sistem klasik, namun terbukti hingga kini masih menjadi trik yang
sangat jitu untuk menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan
dengan berbagai modifikasi.[1]
Emas adalah logam mulia yang paling populer untuk dijadikan
investasi, baik emas yang berbentuk batangan ataupun emas yang bentuknya
perhiasan. Hal ini tidak hanya berlaku saat ini tapi sudah dimulai sejak zaman
nenek moyang kita dulu, karena emas dianggap sebagai benda yang memiliki nilai
likuiditas tinggi artinya sangat mudah untuk dijual ketika kita sedang
membutuhkan dana secara mendadak. Tapi
karena emas harganya semakin hari semakin tinggi maka
banyak orang merasa kesulitan untuk memiliki emas kalau harus membeli secara
tunai. Ternyata peluang ini ditangkap oleh lembaga keuangan syariah baik itu
perbankan maupun lembaga keuangan non bank, salah satu lembaga yang sangat
gencar dengan produk-produk jual beli emas itu adalah pegadaian syariah. Tidak
heran pegadaian syariah menjadi primadona dalam produk ini karena pegadaian
merupakan lembaga yang sangat akrab dengan yang namanya emas karena sering
digunakan dalam melakukan transaksi gadai. Kesulitan masyarakat dalam memiliki
emas secara tunai menumbuhkan pemikiran dari lembaga-lembaga keuangan syariah
khususnya pegadaian syariah untuk membuat produk kepemilikan emas secara kredit
atau biasa dikenal dengan pembiayaan kepemilikan logam mulia. Pegadaian syraiah
melaui produk ini menawarkan kepada masyarakat penjualan logam mulia yang
pembayarannya bisa diangsur dengan pilihan berat dan waktu yang beragam.
Bagi masyarakat mungkin hal ini merupakan hal yang
sangat ditunggu-tunggu karena dengan keuangan yang terbatas bisa memiliki logam
mulia yang diinginkan dengan cara membeli yang pembayarannya dapat diangsur
sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Masyarakat awam akan menganggap
bahwa hal ini bukan merupakan pelanggaran baik dilihat dari hukum negara maupun
hukum agama, karena yang mengeluarkan produk ini merupakan lembaga keuangan
pemerintah dan memiliki label syariah. Tetapi ketika ditinjau dari aspek
ekonomi syariah maka produk ini menimbulkan masalah karena terjadi pertentangan
di masyarakat tentang halal haramnya produk penjualan logam mulia secara kredit
ini.
Sebagian Ulama memandang produk yang dipasarkan
oleh Pegadaian Syariah ini masih mengandung unsur riba, karena logam mulia (emas)
termasuk salah satu barang riba yang jual belinya harus bersifat kontan (tunai)
seperti yang dijelaskan dalam hadits
PROBLEMATIKA PRODUK MULIA
Produk MULIA adalah produk yang dukeluarkan oleh
pegadaian syariah dimana produk tersebut merupakan pilihan layanan investasi
emas batangan secara angsuran dengan harga yang pasti dan tidak dipengaruhi
fluktuasi harga emas.
1.
Pembayaran
uang muka mulai dari 20%
2.
Pembelian
kembali (buyback) kompetitif
3.
Pembiayaan
tersedia dilebih dari 4600 outlet pegadaian
4.
Pembayaran
angsuran di seluruh outlet pegadaian
5.
Pilihan
waktu pembiayaan : 3, 6, 12, 18, 24 dan 36
6.
Pilihan
investasi emas mulai dari 1 gr s.d. 1 kg
Simulasi Mulia Angsuran Personal
Uang Muka (UM) = 30%
Harga emas 10 gr :
Rp. 5.180.000*
Jangka waktu pembiayaan : 12 bulan
Harga Jual Emas
Harga dasar LM :
Rp. 5.180.000
Marjin :
Rp. 631.065
Biaya administrasi :
Rp. 50.000
Harga Jual :
Rp. 5.861.065
Hutang Nasabah
Harga Jual :
Rp. 5.861.065
Uang muka (30%) :
Rp. (1.554.000)
Hutang Nasabah :
Rp. 4.307.065
Angsuran per bulan : Rp. 4.307.065/12 bulan = Rp.
358.922
*) Harga sebagai ilustrasi
Kemudahan pelayanan pegadaian syariah yang
ditawarkan kepada masyarakat khususnya dalam kepemilikan logam mulia dengan
pembayaran yang diangsur ternyata menimbulkan kontroversi di masyarakat karena
ada dua kelompok masyarakat yang berbeda pendapat tentang kehalalan produk ini.
A.
Kelompok
yang mengharamkan jual beli emas secara kredit.
Menjualbelikan emas secara kredit hukumnya
haram. Karena emas termasuk salah satu barang ribawi yang jika dijualbelikan
harus dilakukan secara kontan (yadan bi yadin). Yaitu tidak boleh
bertempo (nasi`ah)
atau secara kredit.[3] Dasar-dasar
dari keharaman yang mereka kemukakan adalah :
1. Riwayat
dari Ubadah bin Shamit RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Emas ditukarkan dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum (al-burru bil burri), jewawut dengan
jewawut (asy-sya’ir
bi asy-sya’ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama
takarannya (mitslan bi mitslin sawa`an bi sawa`in)
dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda
jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi
yadin).” (HR Muslim no 1587).[4]
Imam Syaukani menjelaskan hadis tersebut,”Jelas bahwa tidak
boleh menjual suatu barang ribawi dengan
sesama barang ribawi lainnya, kecuali secara kontan. Tidak boleh pula
menjualnya secara bertempo (kredit), meskipun keduanya berbeda jenis dan
ukurannya, misalnya menjual gandum dan jewawut (sya’ir), dengan emas dan perak.”[5]
2. riwayat Ubadah bin Shamit RA bahwa Nabi SAW
bersabda,”Juallah
emas dengan perak sesukamu, asalkan dilakukan dengan kontan.” (HR
Tirmidzi).
Menjelaskan hadis ini, Imam Taqiyuddin an-Nabhani
berkata,”Nabi SAW telah melarang menjual emas dengan mata uang perak (al-wariq)
secara utang (kredit).”[6]
3. “Dari Abu
Hurairah dari Rasulullah SAW, bahwasannya beliau melarang dua transaksi jual
beli dalam satu transaksi jual beli.” (HR. Tirmidzi, Nasa’I dan lainnya)
Penafsiran
hadits ini oleh kalangan ulama’ kontemporer diantaranya Al Albani yang beliau cantumkan dalam
banyak kitabnya, diantaranya Silsilah Ahadits Ash Shohihah. Juga Syaikh Salim Al Hilali dalam kitab Mausu’ah Al Manahi
Asy Syar’iyah dan juga lainnya. Mereka berpendapat bahwa jual beli secara
kredit adalah masuk kedalam larangan jual beli dua transaksi dalam satu
transaksi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Mereka menafsirkan hadits
“Dua transaksi jual beli dalam satu transaksi” adalah seperti ucapan seorang
penjual atau pembeli : “Barang ini kalau tunai harganya segini sedangkan kalau
kredit maka harganya segitu.”[7]
Dalil-dalil di atas jelas menunjukkan bahwa memperjualbelikan
emas haruslah memenuhi syaratnya, yaitu wajib dilakukan secara kontan. Inilah
yang diistilahkan oleh para fuqoha dengan kata “taqabudh” (serah terima dalam
majelis akad) berdasarkan bunyi nash “yadan
bi yadin” (dari
tangan ke tangan). Dengan demikian, menjualbelikan emas secara kredit atau
angsuran, melanggar persyaratan tersebut sehingga hukumnya secara syar’i adalah
haram.
B.
Kelompok
yang menghalalkan jual beli emas secara kredit.
Dasar-dasar
ayat Al-Quran dan Hadits yang dikemukakan oleh kelompok kedua ini adalah :
1. Firman Allah SWT, QS.
al-Baqarah [2]: 275:
… وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا …
"… Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …"
2. Hadis Nabi SAW, antara
lain:
Hadis Nabi riwayat Ibnu
Majah dan al-Baihaqi dari Abu Sa'id al-Khudri:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
إِنِّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ، (رواه ابن ماجة و البيهقي وصححه
ابن حبان)
Rasulullah SAW
bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar
kerelaan (antara kedua belah pihak)." (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi, dan
dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)
3. Kaidah
Fikih:
الأَصْلُ فِي
الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
"Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalat boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya."
4. Kaidah
Fikih
مِنْ الذَّخِيرَةِ :
قَاعِدَةٌ : كُلُّ حُكْمٍ مُرَتَّبٍ عَلَى عُرْفٍ أَوْ عَادَةٍ يَبْطُلُ عِنْدَ
زَوَالِ تِلْكَ الْعَادَةِ ، فَإِذَا تَغَيَّرَ تَغَيَّرَ الْحُكْمُ .
"(Dikutip) dari kitab al-Dzakhirah sebuah kaidah: Setiap hukum yang
didasarkan pada suatu 'urf (tradisi) atau adat (kebiasaan masyarakat) menjadi
batal (tidak berlaku) ketika adat tersebut hilang. Oleh karena itu, jika adat
berubah, maka hukum pun berubah."[8]
5. Pendapat Ulama
يَجُوْزُ بَيْعُ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الْمُصَنَّعَيْنِ – أَوِ
الْمُعَدَّيْنِ لِلتَّصْنِيْعِ – بِالتَّقْسِيْطِ فِيْ عَصْرِنَا الْحَاضِرِ
حَيْثُ خَرَجَا عَنِ التَّعَامُلِ بِهِمَا كَوَسِيْطٍ لِلتَّبَادُلِ بَيْنَ
النَّاسِ وَصَارَا سِلْعَةً كَسَائِرِ السِّلَعِ التِّيْ تُبَاعُ وَتُشْتَرَى
بِالْعَاجِلِ وَاْلآجِلِ، وَلَيْسَتْ لَهُمَا صُوْرَةُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ
اللَّذَيْنِ كَانَا يُشْتَرَطُ فِيْهَا الْحُلُوْلُ وَالتَّقَابُضُ فِيْمَا
رَوَاهُ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "لاَ تَبِيْعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْْلاً
بِمِثْلٍ، وَلاَ تَبِيْعُوْا مِِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ" (رواه البخاري).
وَهُوَ مُعَلَّلٌ بِأَنَّ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ كَانَا وَسِيْلَتَيْ
التَّبَادُلِ وَالتَّعَامُلِ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَيْثُ انْتَفَتْ هذِهِ
الْحَالَةُ اْلآنَ فَيَنْتَفِي الْحُكْمُ حَيْثُ يَدُوْرُ الْحُكْمُ وُجُوْدًا
وَعَدَمًا مَعَ عِلَّتِهِ.
وَعَلَيْهِ: فَلاَ مَانِعَ شَرْعًا مِنْ بَيْعِ الذَّهَبِ الْمُصَنَّعِ أَوِ الْمُعَدِّ لِلتَّصْنِيْعِ بِالْقِسْطِ.
وَعَلَيْهِ: فَلاَ مَانِعَ شَرْعًا مِنْ بَيْعِ الذَّهَبِ الْمُصَنَّعِ أَوِ الْمُعَدِّ لِلتَّصْنِيْعِ بِالْقِسْطِ.
Boleh jual beli emas dan perak yang telah dibuat atau disiapkan untuk
dibuat dengan angsuran pada saat ini di mana keduanya tidak lagi diperlakukan
sebagai media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah menjadi barang
(sil'ah) sebagaimana barang lainnya yang diperjualbelikan dengan pembayaran
tunah dan tangguh. Pada keduanya tidak terdapat gambar dinar dan dirham yang
dalam (pertukarannya) disyaratkan tunai dan diserahterimakan sebagaimana
dikemukakan dalam hadis riwayat Abu Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah saw
bersabda: "Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan
ukuran yang sama, dan janganlah menjual emas yang gha'ib (tidak
diserahkan saat itu) dengan emas yang tunai."(HR. al-Bukhari). Hadis ini
mengandung 'illat bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan
transaksi di masyarakat. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada
pula hukum tersebut, karena hukum berputar (berlaku) bersama dengan 'illatnya,
baik ada maupun tiada.
Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara' untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran[9]
Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara' untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran[9]
Itulah alasan-alasan yang
dikemukakan oleh kelompok yang menghalalkan jual beli emas secara kredit dengan
penjelasan bahwa emas pada saat ini fungsinya
bukan merupakan tsaman (harga, alat pembayaran, uang) sehingga
sudah tidak termasuk ke dalam Amwal Ribawiyah (barang ribawi) dan
diperlakukan sama dengan barang-barang biasa lainnya.
KESIMPULAN
Setelah masing-masing
kelompok mengemukakan dasar-dasar yang menjadi alasan mereka berpendapat
tentang jual beli emas secara kredit baik itu yang mengharamkan ataupun yang
menghalalkan maka di sini penulis mencoba untuk memberikan kesimpulan dari permasalahan yang sedang menjadi polemik
di masyarakat tentang produk MULIA yang dipasarkan oleh pegadaian syariah di
Indonesia.
Kelompok pertama yang
mengharamkan jual beli emas secara kredit mendasarkan pada hadits bahwa emas
merupakan Tsaman (harga, alat pembayaran, uang), yang harus
diperjualbelikan secara tunai sehingga kalau diperjualbelikan secara kredit itu
termasuk ke dalam riba.
Kalau kita perhatikan saat
ini khususnya di Indonesia emas dan perak bukan termasuk ke dalam Tsaman
(harga, alat pembayaran, uang) tetapi kita menggunakan uang kartal dan uang
giral sebagai alat pembayaran, penilai harga dan satuan hitung. Emas dan perak
hanya dijadikan sebagai perhiasan atau lebih tingginya digunakan sebagai salah
satu barang investasi. Jadi dalam hal ini perlakuan untuk emas dan perak di
dalam jual beli tidak ada perbedaan dengan barang-barang non ribawi lainnya
baik diperjualbelikan secara tunai ataupun secara kredit. Hal ini dapat
mematahkan alasan kelompok yang mengharamkan jual beli emas secara kredit.
Kemudian kebolehan jual
beli emas secara kredit juga bisa dikuatkan dengan kaidah fikih yang mengatakan
bahwa setiap hukum yang didasarkan pada suatu 'urf (tradisi)
atau adat (kebiasaan masyarakat) menjadi batal (tidak berlaku) ketika adat tersebut
hilang. Oleh karena itu, jika adat berubah, maka hukum pun berubah. Kaidah
hukum di Indonesia yang mengatur bahwa emas dan perak bukan merupakan alat
pembayaran menjadikan emas sudah tidak lagi termasuk ke dalam barang ribawi.
[2] Brosur Produk MULIA dari
Pegadaian Syariah
[3] Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi
al-Islam, hal. 267; Ali as-Salus, Al-Qadhaya al-Fiqhiyah
al-Mu’ashirah, hal. 031; Adnan Sa’duddin, Ba’iu at-Taqsit wa
Tathbiqatuha al-Muashirah, hal. 151; Shabah Abu As-Sayyid, Ahkam Baiut Taqsith fi
Asy-Syariah al-Islamiyah, hal. 43; Hisyam Barghasy, Jual Beli Secara Kredit (terj.), hal. 109.
[7]
http://www.konsultasislam.com/2010/10/hukum-jual-beli-secara-kredit.html?m=0
[9] Syaikh 'Ali Jumu'ah, mufti al-Diyar al-Mishriyah, al-Kalim al-Thayyib Fatawa 'Ashriyah, al-Qahirah: Dar al-Salam, 2006, h. 136: