RELASI BURUH & MAJIKN : Perspektif Ekonomi Syariah

RELASI BURUH & MAJIKN : Perspektif Ekonomi Syari'ah


Oleh :
Dr. Achmad Kholiq, MA
Ketua MES Wil III Cirebon, Ketua ICMI Cirebon, Doesen Ekonomi Islam Pasca Sarjana IAIN Cirebon

Prolog

Momentum revolusi sosoal yang terjadi menjelang pertengahan tahun 1998 dan sejalan dengan tahapan industrialisasi dewasa ini, maka terasa sekali perlu adanya upaya penataan ulang seluruh tatanan kehidupan – termasuk di dalamnya tataran yang berkaitan langsung dengan industri di Indonesia yg di dalamnya berhubungan langsung dengan ketenagakerjaan.  Pada masa Orde Baru ada dominasi kalangan industri terhadap para pekerja cukup kuat , bahkan cenderung mereka (para pekerja) ditekan untuk hanya bernaung dalam satu wadah dan dikendalikan oleh penguasa untuk tujuan menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Para pekarja bahkan telah banyak berkorban dengan menjadi bahan bakar pertumbuhan ekonomi, yang salah satu indikatornya dengan tidak maksimalnya pemberian upah dan minimnya perlindungan hak serta jaminan sosial tenaga pekerja. (Bambang Setiadi:2003)

Fenomena ini terus berkembang secara merata pada masa klimak kekuasaan Orde Baru. Ironisnya kebijakan penguasa terhadap pekerja pada waktu itu dinilai memiliki implikasi positif oleh pemerintah, terutama karena bagian nilai tambah untuk kapital dan keuntungan menjadi meningkat. Pada akhirnya perolehan dari input kapital dan keuntungan tersebut diharapkan – sekali lagi- menjadi salah satu mesin pertumbuhan Orde Baru.

Sejak reformasi berlangsung di tahun 1998, banyak bermunculan serikat serikat pekerja, Akan tetapi, terdapat fakta bahwa serikat serikat pekerja, sebagaimana juga partai politik yang marak bermunculan, memiliki agenda agenda tersembunyi yang tentu saja berujung pada kekuasaan,  di balik kampanye untuk memperjuangkan pekerja atau rakyat. Sehingga obsesi para kalangan “idealis” untuk mengangkat martabat kaum pekerja sekaligus memperjuangkan hak hak perlindungan mereka terasa sangat lamban dan bahkan cenderung distortif.


Upaya   Yuridis  Formal

Gagasan ideal untuk mengangkat martabat para pekerja di Indonesia sebenarnya telah cukup memperoleh payung secara legal, misalnya sejak diratifikasinya konvensi ILO no 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of The Right to Organize) melalui Kepeutusan Presiden RI N0. 83 Tahun 1998 tanggal 5 Juni 1998. 

Kepres ini diharapkan menjadi salah satu angin segar bagi ruang gerak kehidupan berdemokrasi bagi para pekerja dan buruh untuk lebih meningkatkan martabat dan memperoleh perlindungan hak sebagai mana mestinya. Tidak hanya sampai di situ, upaya pemerintah sejak bergulirnya reformasi juga ditindak lanjuti dengan melahirkan produk produk perundangan undangan  dalam kerangka meresponi nasib para pekerja yang selama masa Orde Baru begitu terpuruk. Diantaranya dengan lahirnya beberapa Undang Undang antara lain, Undang – undang RI Nomor 19 Tahun 1999 tentang pengesahan Konvensi ILO nomor 105 mengenai penghapusan kerja paksa, Undang –undang RI nomor 21 Tahun 1999 tentang pengesahan Konvensi ILO nomor 111 mengenai diskrininasi dalam pekerjaan dan Jabatan, dan yang terbaru misalnya Undang-undang RI nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh.

Perkembangan lahirnya beberapa payung bagi kemungkinan membaiknya perlindungan tenaga pekerja di masa masa depan, ternyata  juga berdampak kekhawatiran dan kesan negatif khususnya bagi para majikan, pengusaha, dengan asumsi bahwa hal tersebut akan dipersepsikan sebagai perangsang bagi para pekerja untuk lebih berani dalam menyuarakan kepentingannya. Kekhawatiran tersebut terbukti dari semaikin maraknya aksi aksi unjuk rasa demonstrasi yang di gelar oleh kalangan pekerja, baik yang bersifat lokal (dalam lingkungan kerja sendiri), maupun yang bersifat regional, bahkan nasional. 

Ada hal menarik yang seringkali menjadi salah satu faktor pemicu munculnya gejolak dikalangan pekerja, terutama faktor upah dan perlindungan hak serta jaminan sosial yang dirasa tidak memberikan keadilan bagi kaum pekerja. Lalu mnucul pertanyaan besar apa yang salah dengan berbagai macam perundang undangan yang muncul demi pelindungan hak pekerja, sehingga selalu saja memunculkan disparitas di kalangan pengusaha dan pekerja. Mungkinkah harus ada Hukum –hukum alternatif  yang menjadi solusi adil bagi para pekerja dalam meperoleh hak haknya. Pertanyaan  pertanyaan itu tentu saja menjadi peluang bagi para pemerhati di kalangan hukum untuk menggali kemungkinan persepektif Hukum Islam (Syari’ah)  memberikan jawabannya.


Perspektif Ekonomi Syari’ah

Di Indonesia, mayoritas kaum pekerja adalah umat Islam yang merupakan bagian dari masyarakat paling lemah dan paling berat penderitaannya. Terutama pada masa kirsis ekonomi seperti saat ini. Terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran, karena bangkrutnya perusahaan-perusahaan, pemotonagan gaji dengan alasan efisiensi dan sebagainya. Karenanya upaya untuk mengatasi persoalan mereka akan mempunyai makna yang besar dan strategis dalam rangka mengatasi dan mencegah implikasi yang lebih buruk dari krisis ini. 

Menghadapi kenyataan tersebut, jawaban seperti apa yang disodorkan Ekonomi Syari’ah.  Ketertindasan kaum pekerja dan kesewenang-wenangan para pengusaha untuk menetukan nasib dan kelangsungan hidup mereka dengan memberi “harga”  yang tidak memadai disertai dengan bermacam alasan. Sedangkan efisiensi dan persaingan yang sangat kental pada era globalisasi  dan pada sektor ekonomi umumnya tidak ramah terhadap tenaga kerja khususnya non professional dan unskilled labour.

Para pekerja sendiri  tidak dapat berbuat banyak menghadapi hal tersebut. Keberadaan organisasi serikat pekerja yang diharapkan mampu menjadi penyambung lidah mereka, belum diberdayakan secara optimal dan kadangkala tetap sulit untuk menembus megahnya sebuah birokrasi. Yang kemudian terjadi adalah maraknya unjuk rasa, pemogokan-pemogokan dan larangan kerja bahkan pengerusakan-pengerusakan.

Sebagai salah satu sub pemikiran Islam, ekonomi Islam membawa  kecenderungan baru yang tidak dimiliki sub-sub pemikiran lainnya, yang tampaknya sangat dibutuhkan dalam rangka membuat ajaran-ajaran Islam lebih fungsional dalam kehidupan modern. Termasuk dalam memberikan arah yang benar dalam perlindungan hak tenaga kerja, Sistem ekonomi Islam memberikan apresiasi yang sangat memadai terhadap relasi antara buruh dan pemilik modal dengan di didasarkan nilai-nilai universal, Sistem perindustrian yang di dasarkan pada konsep syari'ah akan memadukan secara mutualisme antara dua kelompok dari pemilik modal dan tenaga kerja. 

Hal ini agak berbeda dengan. sistem perindustrian modern yang seringkali tampaknya memposisikan tenaga kerja dan pemodal dalam dua kelompok yang saling bertentangan. Dalam mempertahankan kepentingannya masing-masing selalu terjadi konflik yang menyeret pada pemborosan modal dan tenaga kerja yang sangat besar di negara-negara kapitalis. Walaupun lembaga legislatif mengambil langkah untuk melindungi hak-hak pekerja, konflik tidak pernah reda bahkan terus meningkat belakangan ini. Sedang pergerakan serikat buruh dinilai telah mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya dan banyak terjadi pemogokan yang mengakibatkan kerugian bagi negara.

Betapapun sulitnya, betapaun menggelisahkannya persoalan yang harus dihadapi  menyertai krisis ekonomi atau perubahan sosial ini, Ekonomi Syari’ah (Islam)  tetap menekankan umatnya pada jalan kasih sayang, adil dan beradab, melarang tinadakan anarkhis, brutal dan aniaya (dzolim). Karena tujuan yang baik harus dicapai melalui cara yang baik (halal), tidak dengan cara yang bertentangan prinsip kemanusiaan, jadi menghalalkan segala cara ditolak oleh Islam.

Disanalah pentingnya sebuah “frame” yang membentengi sikap setiap orang dalam fungsinya masing-masing dalam sebuah interaksi sosial (ekonomi). Frame tersebut adalah etika yang tidak boleh ditanggalkan, pun dalam berbisnis. Dalam hubungan industrial aturan-aturan yang mengatur hubungan (bisnis) antar para pengusaha dengan sesama koleganya juga dengan para pekerjanya yang mengacu pada nilai ilahiah dalam al- Qur’an dan al- Hadits.

Berbeda dengan pandangan kapitalis maupun sosialis dalam melakukan pendekatan terhadap hubungan buruh dan majikan. Islam tidak mengakui adanya penghisapan buruh oleh majikan (sepeti yang terjadi di dunia kapitalis), pun tidak menyetujui dihapuskannya kelas kapitalis dan diadakannya masyarakat tanpa kelas (teori sosialis). Islam mengakui adanya perbedaan kemampuan dan bakat tiap-tiap orang yang mengakibatkan perbedaan pendapatan dan imbalan material (Q.S. An Nisa : 33). Islam tidak menyetujui persaman tingkat yang sama sekali tidak berubah dalam distribusi kekayaan. Tentu saja Islam mengakui adanya buruh dan majikan di masyarakat. 

Dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat dua prinsip dasar mengenai hal ini, yakni bahwa pelayan harus setia dan melakukan pekerjaannya dengan baik, sedangkan majikan harus membayar penuh untuk jasa yang diberikan pelayanya itu. Pada kenyataannya Islam menyatukan merek dalam sebuah hubungan yang harmonis dengan memberikan suatu penilaian moral dalam berbagai persoalan. Islam melindungi kepentingan buruh maupun majikan dalam kerangka organisiai nyata yang serba lengkap. Jika kedua belah pihak meresapi nilai Islam niscaya seluruh persoalan mengenai pemogokan dan penutupan tempat kerja relatif tidak perlu.

Islam menghubungkan tenaga kerja dengan pemodal dalam persaudaraan dan kekeluargaan dengan cara yang tidak mempertentangkan kepentingan mereka. Hal itu mendorong untuk saling memiliki rasa percaya, kemauan baik, menghormati hak-hak orang lain, kebersamaan dan kasih sayang. Rasa tanggung jawab merupakan dasar hubungan manusia dan Islam telah mencoba meningkatkan para pemeluknya melalui ajaran moralnya.

Al-Qur’an menerangkan dengan kalimat yang sangat jelas dan tegas  pada seluruh muslim agar selalu berbuat baik kepada muslim lainya semata mengharap ridlo-Nya. Selanjutnya diperintahkan untuk mengubur perbedaan yang ada dan bersatu dalam persaudaraan Islam. Sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran: 103.

Artinya:”Dan berpegangteguhlah kamu semua kepada tali Allah dan janganlah bercerai berai dan ingatlah akan ni’mat Tuhanmu kepadamu, ketika kamu bermusuh-musuhan. Maka Allah menjinakkan hatimu dan menjadilah kamu dengan nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.(Q.S. ali Imran:103)

Islam mengajarkan pula keharusan perusahaan untuk menghormati keyakinan (belief) para pekerjanya, misalnya pekerja muslim diberi kesempatan untuk shalat dan berperilaku Islami, serta tidak memaksa untuk bertindak bertentangan dengan etika Islam.Tindakan etis lain menyangkut hubungn perusahaan dengan pekerjanya adalah keharusan kedua belah pihak untuk menghormati privacy (keleluasaan dan rahasia pribadi) .Pekerja harus menjaga nama baik dan kerahasiaan perusahaan, begitu pula sebaliknya. Hubungan antar pengusaha dan pekerja harus didasarkan pada nilai dasar Ihsan (kebaikan) serta tanggung jawab, pun tanggung jawab kepada Allah yang diimaninya.

Dalam menyelesaikan konflik yang muncul harus didasari dengan semangat kekeluargaan dan cinta kasih, dengan kata lain ketika mengadakan kesepakatan seharusnya tidak hanya melihat  kepentingan sendiri tetapi juga kepentingan saudaranya. Jika terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, negara mempunyai kewajiban moral dan wewenang yang sah untuk ikut campur dan memutuskan persoalan dengan seadil-adilnya.


Penutup

Ekonomi Syari’ah yang secara teori merupakan aktualisasai dari nilai nilai wahyu, sangat memperhatikan perlindungan hak kaum buruh dan tenaga kerja, simplikasi ini dengan jelas dapat ditemukan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma;un yang dalam bahasa agak luas dapat kemukakan  “Suatu Bangsa pada Hakekatnya tidak beragama, sampai bangsa itu dapat menciptakan suatu suistem yang dapat melindungi anak yatim dan orang miskin ( melalui kebijakan upah dan perlindungan hak / jaminan tenaga kerja “