Isu Syariah, Isu Legal, dan Isu Operasional Akad Murabahah pada Bank Syariah

Murabahah merupakan akad unggulan yang diterapkan pada produk Lembaga Keuangan Syariah diseluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Akad murabahah mendominasi kurang lebih 60% dari akad lainnya. Salah satu alasannya adalah akad murabahah lebih simple dan mudah untuk diterapkan dibanding dengan akad kerjasama seperti mudharabah atau musyarakah. Namun, penerapan akad murabahah oleh bank syariah
masih menuai pro dan kontra dibeberapa kalangan terkait beberapa isu. Berikut ini beberapa isu syariah, isu legal, dan isu operasional yang menjadi permasalahan dalam penerapan akad murabahah pada bank syariah.


Isu Syariah
  1. Murabahah dapat terjebak ke dalam akad tawarruq sehingga tidak terjadi transfer of ownership secara nyata dari Bank kepada Nasabah.
  2. Adanya mark up keuntungan didasarkan pada pembiayaan secara non-tunai dianggap sebagai konsep value of time yang bertentangan dengan nilai syariah.
  3. Apabila tidak ada aktivitas penyerahan obyek pembiayaan Murabahah maka kontrak yang terjadi akan jatuh sebagai akad pinjam meminjam.
  4. Rescheduling atau roll over pada nasabah tidak mampu bayar Murabahah dianggap sebagai bentuk riba akibat pembebanan biaya tambahan atas kompensasi pertambahan waktu.
  5. Pemberian potongan dalam Murabahah bagi Nasabah yang melakukan pelunasan lebih awal dari waktu yang telah disepakati apabila telah diperjanjikan.
Isu Legal
 
  1. Beberapa akta pembiayaan yang dibuat oleh Notaris belum memenuhi syarat dan rukun pokok perjanjian yang diatur dalam hukum syariah.
  2. Adanya klausul aksionerasi dalam akad Murabahah yang melemahkan kedudukan nasabah (misal
    klausula larangan bagi nasabah (negative covenant)
  3. Adanya hak tanggungan (APHT) margin keuntungan pihak Bank bisa menjadi riba.
  4. Adanya pluralisme hukum terkait aspek jaminan.
  5. Beberapa akad masih mengatur penyelesaian sengketa yang bertentangan dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama
Isu Operasional
  1. Konsep Bank sebagai lembaga intermediasi uang mengakibatkan Bank tidak bisa berlaku sebagai penjual langsung pada pembiayaan Murabahah. 
  2. Pertanggungan risiko atas barang secara keseluruhan seringkali dilimpahkan kepada pihak nasabah atas akad wakalah dari pihak Bank
  3. Pembiayaan Murabahah sering dipersamakan dengan utang piutang karena tidak berlakunya pajak PPN atas jual beli.
  4. Apabila Nasabah mengakhiri kontrak dengan cara berpura-pura tidak mampu memenuhi kewajiban dapat dikategorikan sebagai moral hazardyang dapat merugikan Bank. 
  5. Adanya klaim Nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada Bank, tapi kepada pihak ketiga yang mengirimkan barang. 

Referensi : Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah - OJK (2016)