hubungan investasi saham dengan sistem mudharabah dalam ekonomi islam

Oleh : Zulbiadi Latief

Infosyariah.com - Salam untuk semua pengunjung setia www.infosyariah.com! Sebelum mulai mengulas soal hubungan investasi saham dengan sistem mudharabah dalam ekonomi islam, maka biar lebih yakin dengan artikel ini, saya ingin memperkenalkan diri lebih dulu. Nama saya Zulbiadi Latief, aktifitas keseharian saya sebagai trader saham sekaligus sebagai analis saham syariah. 
Nah, tujuan artikel ini saya buat adalah untuk memberi kesadaran pada umat muslim bahwa saham bukanlah investasi yang haram, namun juga tidak selamanya halal, tergantung obyek dan cara investasinya.


Jika anda sudah memahami makna saham syariah sebenarnya, maka selanjutnya silahkan belajar cara membeli saham dengan modal kecil.

Dari berbagai forum maupun grup online ada banyak sekali pernyataan yang menyebutkan bahwa saham adalah investasi yang haram dan harus dijauhi. Pernyataan dan pola pikir seperti ini cenderung karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan keterbatasan ilmu mengenai pasar modal. Karenanya, dalam artikel ini penulis mencoba memberikan sediki pemahaman terhadap sistem investasi saham yang sebenarnya seperti apa.

Pertama, mari terlebih dahulu memahami 2 prinsip bagi hasil dalam ilmu ekonomi Islam. Jadi, dalam prinsip bagi hasil secara umum dikenal dua jenis, yaitu Mudharabah dan Musyarakah. Penulis tidak ingin menjelaskan panjang lebar mengenai keduanya, hanya pada sisi porsi modal dan peran masing-masing investor dan pengelola dana dalam kerjasama bagi hasil tersebut.

Untuk sistem Musyarakah, antara pemilik modal dengan pemilik usaha atau bisnis masing-masing berperan dalam mengelola usaha tersebut, sedangkan dalam sistem Mudharabah, umumnya pemilik usaha secara penuh mengatur dan menjalankan usahanya sendiri. Adapun pihak pemilik modal atau investor, ia hanya berperan sebagai penyedia modalnya saja.
Lalu apa hubungannya dengan saham?

Dalam sistem investasi saham, bentuk investasinya kurang lebih sama dengan sistem Mudharabah di atas.

Dan untuk menjawab pertanyaan di atas mari kita menengok terlebih dahulu bagaimana proses investasi saham yang sebenarnya, mulai dari perusahaan melakukan IPO hingga terjadi transaksi di pasar regular maupun tunai.

Jadi dimulai dari perusahaan yang telah menjalankan usahanya dalam kurun waktu yang telah cukup (menurut regulasi OJK), kemudian karena merasa kekurangan dana untuk melakukan ekspansi bisnis, baik itu dengan membangun pabrik baru, menambah kapasitas produksi maupun yang lainnya terkait pengembangan bisnis perusahaan, akhirnya pihak perusahaan melakukan pengajuan ke BEI untuk menawarkan sahamnya (hak kepemilikan usahanya) kepada publik, dalam hal ini melakukan Penawaran Umum Perdana (IPO). 

Proses IPO juga tidak mudah, banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan, di antaranya usahanya telah berdiri minimal 3 tahun, telah berbadan hukum PT dan memiliki semua syarat legalitas seperti TDP, NPWP, SIUP dan lainnya, telah memiliki aset yang cukup (minimal Rp100 milyar untuk yang telah berumur 3 tahun dan minimal Rp5 milyar untuk yang baru berumur 1 tahun), dalam AD/ART-nya telah disusun susunan direksinya seperti komisaris, direktur, hingga susunan manajeman perusahaan dan komite audit yang diwajibkan oleh OJK, dan masih banyak lagi syarat soal IPO yang harus dipenuhi perusahaan yang ingin listing (istilah untuk perusahaan yang terdaftar dan diperjualbelikan sahamnya di bursa) di BEI.

Setelah semua persyaratan dipenuhi dan perseroan telah mendapat pernyataan efektif dari OJK serta telah ditetapkan nilai nominal dan harga sahamnya, maka barulah saham perusahaan tersebut mulai ditawarkan kepada public. Dan bila proses IPO telah selesai, selanjutnya saham perusahaan sudah bisa diperjualbelikan lewat pasar reguler di BEI.

Adapun dana yang di dapat perusahaan dari IPO tersebut, selanjutnya akan ‘diputar’ dalam mendanai proses dan operasional bisnisnya.

Adapun mengenai apakah saham perusahaan masuk kategori saham syariah atau konvensional juga sudah diputuskan. Bila ternyata sahamnya masuk dalam daftar saham syariah, selanjutnya saham tersebut akan masuk dalam daftar saham ISSI (Indeks Saham Syariah Indonesia). 

Penentuan klasifikasi saham ini juga tidak mudah, OJK perlu melakukan review dari sumber modal yang digunakan dan jenis produk yang dijual, apakah sesuai dengan sistem syariah atau tidak. Di antara yang dinilai adalah:
Syarat Transaksi sesuai Syariah
Tidak mengandung unsur kedzaliman
Bukan riba
Tidak membahayakan pihak sendiri maupun pihak lain 
Tidak ada unsur gharar atau penipuan
Tidak mengandung materi-materi yang diharamkan
Tidak mengandung unsur maisyir atau judi.

Belum lagi soal orang-orang yang ditunjuk sebagai tim penilai syariah, juga dari orang-orang yang berkompeten di bidangnya, minimal telah bersertifikasi sebagai ahli di bidang syariah.

Lanjut lagi soal proses di atas. Jadi, setelah dilakukan IPO dan dana yang terkumpul telah digunakan (baik sebagian atau setelahnya), selanjutnya di akhir tahun barulah diadakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) yang di antaranya membahas apakah perusahaan akan membagikan dividen atau tidak di tahun tersebut. Bila ya, maka tiap investor akan berkesempatan mendapatkan dividen, tergantung jumlah saham yang ia pegang dan keputusan manajemen berapa nilai persentase dividen yang dikeluarkan dari total laba bersih yang dihasilkan di tahun tersebut.

Dan manakala diputuskan bahwa perusahaan tidak akan membagikan dividen di tahun tersebut, bisa jadi karena keuntungan yang didapat belum maksimal, maka dana tersebut bisa digunakan lagi untuk pengembangan bisnisnya, tentunya jika berhasil akan semakin mempengaruhi kenaikan dari harga saham perusahaan sendiri.

Selain itu, bila investor tidak mendapat dividen karena manajemen belum bisa memberikan bagi hasil pada tahun tersebut, maka masih ada keuntungan lain yang bisa didapat, yaitu Capital Gain atau keuntungan saham dari selisih harga jual yang lebih tinggi dari harga belinya.

Nah, setelah tau prosesnya, kita sudah bisa menimbang bagaimana persamaan antara investasi saham dengan sistem mudharabah. Bisa dikatakan bahwa setiap lembar saham yang dibeli mewakili kepemilikan investor pada aset perusahaan, sekalipun itu hanya nol koma sekian persen saja. Selain itu, setiap lembar saham yang kita beli berarti kita ikut mendanai bisnis dari perusahaan tersebut. Ya, karena dana yang terkumpul dari saham tersebut, oleh perusahaan, selanjutnya digunakan dalam membiayai proses bisnis dari perusahaan itu sendiri.

Dan perlu ditegaskan bahwa investor yang membeli saham sama sekali tidak melakukan jual beli uang, sekalipun yang tampak adalah nilai rupiah dari per lembar sahamnya, tapi sebenarnya yang diperjualbelikan adalah nilai per lembar dari perusahaan tersebut. 

Adapun keuntungan dari berinvestasi saham (sudah disinggung di atas), bila pada periode selanjutnya perusahaan berhasil mendapatkan laba yang signifikan maka investor bisa mendapat dua keuntungan, yaitu dari capital gain dan dividen.

Capital gain adalah keuntungan dari selisih harga saham antara harga jual dan harga belinya. Jika harga saham telah naik, minimal di atas dari fee trading-nya, maka saham tersebut sudah boleh dijual dan keuntungan dari penjualan itulah yang dinamakan dengan capital gain. Adapun dividen, perusahaan akan membaginya minimal sekali setahun. Hanya saja, bagi trader saham, mereka bisa mendapatkan dividen asalkan bisa memegang sahamnya di hari cum date dan itu hanya berlaku sehari saja. Jadi tidak perlu menunggu setahun untuk bisa dapat dividen.
Motode pembagian dividen di atas juga sudah menjawab persamaan investasi saham dengan sistem bagi hasil Mudharabah 

Dan bicara soal aman tidaknya, bahkan menurut hemat penulis, investasi di sektor saham bisa lebih aman dan syari ketimbang investasi langsung pada bisnis rill yang tidak berbadan hukum dan tidak mendapat pengawasan langsung dari pemerintah terkait, dalam hal ini OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Mengapa demikian? Ya, karena jika berinvestasi di sektor rill langsung, sekalipun face to face langsung dengan pemilik bisnisnya, tapi usahanya tersebut belum tersentuh sama sekali dengan regulasi pemerintah, bila ternyata pemilik usahanya tidak amanah maka besar kemungkinan investor akan kehilangan dana investasinya tanpa ada solusi pasti yang bisa dilakukan selain melaporkan ke pihak yang berwajib.

Berbeda kalau investasi pada sektor saham melelui BEI lewat perantara perusahaan Sekuritas, selain perusahaan tempat berinvestasinya sudah berbadan hukum, berbagai regulasi yang telah ditetapkan oleh BEI juga sangat ketat, khususnya pada pelaporan kinerja keuangan secara periodik dimana setiap perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia wajib mempublikasikan laporan keuangannya kepada publik setiap kuartal atau 3 bulan sekali dan diwajibkan dibuat dan disahkan oleh akuntan publik independen yang telah bersertifikasi.

Kesimpulannya, investasi saham adalah investasi yang halal dan sesuai dengan prinsip mudharabah karena dana pembelian saham dari investor selanjutnya akan dijadikan sebagai modal usaha. Dan saham baru akan haram jika jenis bisnis dan modal usahanya diperoleh dari dana yang tidak sesuai syar’i atau riba. Jadi kembali lagi pada pilihan Investor, apakah ia berinvestasi di saham syariah atau konvensional. Yuk nabung saham!

-------------------------------------------------
Profil penulis 
Nama : Zulbiadi Latief
Kesibukan : Blogger dan Analis Saham Syariah


Kirim tulisan anda seputar ekonomi dan keuangan syariah ke infosyariah16@gmail.com akan kami muat di web www.infosyariah.com